Makna “Desa”

Pembicaraan tentang desa, baik sebagai suatu komunitas strategis hingga tentang desa cukup pangan, sebenarnya mengabaikan pokok subyeknya, yakni desa. Apa makna desa? Apakah mendapatkan pengertian desa dapat disederhanakan hanya dengan pergi ke kamus bahasa? Ataukah, kita membutuhkan pengetahuan langsung ke tempat yang disebut desa. Apakah ada jaminan bahwa setiap orang desa akan memberikan jawaban seperti yang diharapkan? Lantas, apa sebenarnya yang kita harapkan ketika bertanya: apa makna dari desa? Apakah kita mengharapkan jawaban dalam format suatu definisi akademik? Apakah kita cukup bisa menerima jika jawabannya hanya suatu senyuman? Atau, bahkan hanya berupa pertanyaan balik: untuk apa ditanyakan?

Jika kita boleh menggunakan perspektif negara, mungkin ada yang bertanya: apakah desa punya dasar keberadaan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat meninjau naskah resmi, yakni penjelasan pasal 18 UUD’45, yang berbunyi: “Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut. (Penjelasan pasal 18 UUD’45)”.

Sebagaimana telah diketahui bahwa pada amandemen UUD’45, penjelasan tersebut telah ditiadakan, dan dalam batas tertentu, dapat dikatakan bahwa isinya telah ditransformasikan ke dalam pasal, bukan dalam format penjelasan. Dalam pasal 18B (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik. Tentu ada perubahan redaksi. Akan tetapi, jika ditinjau lebih jauh, sebenarnya ada pula perubahan makna.

Namun dalam bagian penjelasan UU Desa (2014), dikatakan: Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaannya, Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan bahwa “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Apa yang hendak dikatakan di sini adalah bahwa negara, sesungguhnya memberikan kesaksian tentang keberadaan desa. Bahkan, desa ada, sebelum negara ada. Negara, dalam hal ini, tidak hanya memberikan kesaksian dalam bentuk memberikan pengakuan, melainkan juga menghormati, dan akan senantiasa “mengingati” keberadaan desa, agar dalam Menyusun ketentuan, senantiasa memperhatikan kepentingan desa – sesuai dengan hak asal-usulnya. Secara demikian, kita dapat mengatakan bahwa dalam kerangka negara, desa memiliki dasar keberadaan yang kuat, yakni ada dalam konstitusi.

Persoalannya, apakah kejelasan akan keberadaan tersebut, dengan sendirinya memperjelas apa arti desa? Jika kita tinjau dari sudut (hukum) negara, apakah ada ruang kesempatan bagi siapapun untuk memberikan makna atas desa? Mungkin, sebagian kita akan segera mengatakan bahwa ruang kesempatan tersedia. Artinya, siapa saja bisa memberikan makna atas desa. Satu, tentu saja desa itu sendiri. Berdasarkan kenyataan adanya, maka sebenarnya desa punya pengertian “asli” atau pengertian yang dimiliki oleh desa, sebelum negara mengintegrasikan desa dalam negara. Akan tetapi, siapa dari desa yang berhak untuk mengajukan pengertian? Apakah sembarang orang? Atau, hanya orang tertentu? Masalah ini nampak sederhana. Jika ditinjau lebih mendalam, sangat mungkin masalah ini menjadi tidak sederhana.

Mengapa di sebut tidak sederhana? Apabila kita bertanya kepada orang desa, akan dapat diduga jawaban yang diberikan sangat beragam. Mulai dari yang tidak menjawab (baca: menjawab dengan cara tidak memberikan jawaban). Ada yang menjawab dengan pertanyaan balik. Atau, ada yang menjawab singkat: tempat aku tinggal. Masing-masing akan mengajukan jawabannya. Barangkali yang akan menarik, jika pertanyaan tentang makna atas desa, diajukan kepada orang desa yang telah mengenyam pendidikan dan yang merupakan pejabat (baik pejabat desa, atau yang lain). Yang telah mengenyam pendidikan, dapat dikatakan tidak menjawab berdasarkan “pengalamannya” atau “tradisi” (sesuatu yang diperoleh turun temurun, dan tidak dipertanyakan. Sementara yang pejabat, terutama pejabat, desa, akan memberikan jawaban dengan merujuk ketentuan yang ada, atau mencari rujukan ketentuan yang mendefinisikan desa.

Dari situ, kita dapat memilah tiga sumber jawaban untuk pertanyaan: apa makna dari desa? Pertama, jawaban yang bersumber dari pengalaman, atau pengetahuan hasil interaksi dengan realitas sosial-ekologis setempat. Sebagai contoh, jawaban: tempat tinggal. Jawaban ini, mencerminkan keterkaitan subyek dengan desa. Jawabannya, tidak saja mendefinisikan makna dari desa tersebut, melainkan tempatnya di dalam apa yang disebut desa tersebut. Dalam konteks ini, kita dapat mengatakan bahwa tiap-tiap orang punya hak yang sama untuk menjawab. Ada kesetaraan. Dan ada plularitas makna. Kedua, jawaban yang bersumber dari pengetahuan, atau dari sumber-sumber yang memiliki otoritas dalam perkara makna dari desa. Ketiga, jawaban yang bersumber dari hukum (ketentuan). Baik, jawaban kedua dan ketiga, sebenarnya memiliki kesamaan, yakni ada sumber dengan otoritas terhadap pengertian desa. Malahan, jika meninjau jawaban ketiga, maka jawaban yang tersedia adalah jawaban yang sama. Karena ketentuan yang memuat pengertian desa bersifat nasional.

Untuk memahami bagaimana negara memberikan makna, berikut ini adalah urutan perkembangannya.

1. Pada tahun 1965, atau dua puluh tahun setelah Merdeka, terbit UU No. 19 tahun 1965, Tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Dalam UU tersebut, didefinisikan:

“Yang dimaksud dengan Desapraja dalam Undang-undang ini adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri.”

Definisi ini memperlihatkan bahwa negara, hendak memperjelas apa yang telah dikatakannya pada penjelasan pasal 18 UUD’45. Namun, kejelasan dimaksud tentu bukan dalam kerangka desa, melainkan dalam kerangka negara itu sendiri. Adapun arahnya, dapat ditemukan pada bagian Penjelasan Umum dari UU No. 19 tahun 1965:

Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang telah mempunyai sejarah ribuan tahun itu, di masa penderitaan jajahan ternyata mempunyai daya tahan yang kuat dan selama peperangan kolonial telah mempunyai jasa-jasa yang bernilai tinggi. Untuk masa depan dapat diharapkan bahwa kesatuan-kesatuan, masyarakat hukum adat itu akan mempunyai peranan penting pula dalam penyelesaian dan mencapai tujuan revolusi, mengingat bahwa bagian terbesar dari pada tenaga-tenaga pokok revolusi sebagaimana dinyatakan dalam Manifesto Politik, terdapat didalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum tersebut.

Karena itu, maka maksud-maksud utama yang hendak dicapai dengan Undang-undang ini adalah untuk memberikan tempat dan kedudukan yang wajar kepada kesatuan-kesatuan masyarakat hukum itu dalam rangka dan rangkaian ketatanegaraan menurut Undang-undang Dasar. Ini berarti harus memupuk kemungkinan perkembangannya sehingga mempunyai penuh daya-guna yang dinamis untuk penyelesaian dan mencapai tujuan Revolusi Agustus 1945 dan Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang menyiapkan dasar-dasar untuk membangun masyarakat Sosialisme Indonesia berdasarkan Panca Sila, masyarakat tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia (tanpa exploitation de I’homme per I’homme) sebagai tujuan revolusi yang menjadi Amanat Penderitaan Rakyat.

2. Belum sempat UU No. 19 tahun 1965 berjalan, perubahan politik terjadi. Pergantian kekuasaan berlangsung pada medio hingga akhir 60a. Baru empat belas tahun kemudian terbit UU No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Perubahan watak kekuasaan, membawa perubahan makna dari desa. UU tersebut mendefinisikan desa sebagai:

Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dari definisi tersebut, sangat jelas bahwa negara (pemerintah) mengabaikan penjelasan pasal 18 UUD’45, karena suatu penyeragaman struktur pemerintahan terjadi. Bukan hanya itu, desa ditempatkan sebagai struktur pemerintahan di bawah kecamatan. Jelas, bahwa desa bukan lagi sebagaimana yang digambarkan penjelasan pasal 18 UUD’45.

3. Setelah lebih dari tiga dasawarsa kekuasaan berjalan, paska perubahan pada akhir 60an, terjadi reformasi pada 1998. Reformasi membawa watak baru kekuasaan. Pada tahun 1999, terbit UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Yang menarik dan penting adalah ungkapan pada bagian menimbang, yang menyebutkan bahwa UU No. 5 tahun 1979 adalah produk yang tidak sesuai dengan UUD dan karena itu harus diganti. Berikut bagian menimbang yang dimaksud:

bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153) yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan Desa, tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta menghormati hak asal-usul daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti.

Sementara itu, pengertian desa yang termuat dalam UU No. 5 tahun 1975, digantikan dengan definisi baru dalam UU No. 22 tahun 1999, yakni:

Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.

Meskipun pada bagian menimbang UU No. 22 tahun 1999 memberikan kritik pada UU No. 5 tahun 1979, yang dikatakan tidak sesuai dengan UUD’45, namun dalam hal definisi tentang desa, definisi sebenarnya tetap dalam makna, namun berbeda dalam rumusan. Yakni menegaskan “diakui dalam system pemerintahan” dan ada di “wilayah kabupaten”. Dengan pengertian tersebut jelas bahwa desa berada dalam struktur pemerintahan, yang ada di wilayah kabupaten. Suatu keseragaman yang tidak disebut langsung, namun bekerja dalam operasional.

4. Ketika UU No. 22 tahun 1999 diganti dengan UU No. 32 tahun 2004, definisi desa mengalami perubahan:

Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

5. Pada UU No. 22 tahun 1999, pengaturan desa dimuat khusus dalam Bab XI tentang Desa. Pengaturan ini tentu saja tidak memadai, dan karena itu, pada 2014, terbit UU No. 6 tentang Desa. Dalam UU tersebut, definisi desa adalah:

Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (pasal 1 ayat 1, UU No. 6 tahun 2014).

Bagi yang ingin melakukan studi lebih lanjut khusus terkait dengan perjalanan pengertian desa, tentu akan dapat menelusuri kedalaman makna dari masing-masing definisi dan bahkan lebih jauh dari itu. Uraian ini sendiri, dapat dikatakan sebagai catatan awal dari suatu upaya melakukan kajian yang lebih mendalam. Dari apa yang telah dapat kita lihat, dapat dikatakan bahwa negara sendiri, sejak tahun 1945 terus membuat perubahan dalam pemaknaan atas makna dari desa, terutama jika diletakkan dalam kerangka perkembangan negara.

Namun, dari kesemuanya itu, kita juga dapat melihat bahwa makna desa sesungguhnya makin tidak dibentuk oleh (dinamika) desa sendiri. Desa dapat dikatakan menjadi “konsumen”, dan bukan produsen utama, atas makna dari desa. Atau: desa, dalam batas-batas tertentu, dapat dikatakan hidup dalam makna yang tidak dibentuknya sendiri. [Desanomia – 03.25 – TM].

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *